Selamat tahun baru sobat Himre !
Sepanjang 2020 kita dihadapkan pada
tantangan- tantangan yang menunutut kita beradaptasi dengan cepat. Tanpa disadari
banyak penemuan dan teknologi baru yang telah ditemukan baik dalam dunia
kesehatan, dunia pendidikan, hinga kebiasaan sosial dan budaya. Hampir semua
kegiatan dirumahkan, meski begitu aktivitas kerja masih tetap berjalan sehingga
energi dalam hal ini kebutuhan listrik masih mengalami kenaikan. Berdasarkan
data dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), impor listrik pada
2021 diperkirakan naik menjadi 1.515,03 GWh (Giga watt hour) dari perkiraan
tahun 2020 sebesar 1.417 GWh. Peningkatan impor listrik tersebut sejalan dengan
kenaikan kebutuhan listrik domestik dari 261.45 GWh pada tahun 2020 menjadi
279.353 GWh pada tahun 2021.
Disisi lain, dalam
produksi energi biasanya akan dihasilkan emisi atau cemaran berupa limbah gas
(CO, CO2, SOx, NOx, dll) dan sebagian limbah padat (debu, partikulat, logam
berat, dll) yang dapat merusak lingkungan serta berbahaya terhadap kesehatan
manusia. Dengan meningkatnya kebutuhan energi, berarti meningkat pula produksi
listrik untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Namun, dampaknya akan terjadi
kenaikan pada cemaran yang dihasilkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
sumber energi terbesar di Indonesia masih tergantung pada batu bara yakni
sebesar 49,27% pada tahun 2019. Faktanya 35% emisi CO2 di Indonesia dihasilkan
dari pembangkit listrik batu bara (KESDM 2016 dan KLHK 2015).
Telah diketahui
bersama bahwa CO2 dihasilkan dari proses pembakaran baik itu di industri, gas
buangan kendaraan berbahan bakar fosil, kebakaran hutan , sampai aktivitas di
rumah tangga seperti membakar sampah di halaman rumah. Dalam masalah kebakaran
hutan atau sejenisnya, gas CO2 yang dihasilkan tidak dapat ditangani, begitupun
aktivitas membakar sampah di sekitar rumah. Tindakan preventif dalam hal ini
kebijakan tegas dari pemerintah dan sosialisasi kepada masyarakat dapat
dilakukan.
Gas CO2 berdampak
besar pada pemanasan global yang menyebabkan anomali cuaca yang ekstrem. Oleh
sebab itu pemerintah berusaha untuk mengurangi emisi CO2 dengan rencana
mengonversinya menjadi metanol melalui proses hidrogenasi. Upaya ini masih
dalam tahap perencanaan oleh pihak KESDM karena memerlukan teknologi dan biaya
yang tidak sedikit.
Penasaran bagaimana proses konversinya? Yuk baca sampai selesai...
Rencana teknologi pengolahan yang
digunakan dalam konversi CO2 menjadi metanol adalah Carbon Capture,
Utilization, and Storage (CCUS), dimana teknologi ini memanfaatkan CO2
untuk memproduksi alga sebagai bio-fuel, konversi CO2 secara kimia, maupun
injeksi Enhanched Oil Recovery (EOR).
Secara umum reaksi sintesa metanol dari CO2 yakni sebagai berikut :
CO2 + 3H2 → CH3OH + H2O
Proses hidrogenasi berlangsung pada
tekanan tinggi sehingga berdampak pada biaya operasi yang dibutuhkan juga
tinggi. Penelitian lanjutan yang dilakukan saat ini adalah terfokus pada
pemilihan jenis katalis yang stabil untuk meningkatkan konversi metanol yang
dihasilkan. Selain itu, penelitian dewasa ini dilakukan agar reaksi dapat
berlangsung pada temperatur dan tekanan yang rendah agar dapat menekan biaya
operasi.
Adapun katalis yang digunakan
biasanya jenis katalis alam dan katalis sintesa seperti penelitian yang dibuat
oleh Yana,S dan Husni,H (2008) yakni dengan menggunakan zeolit alam dan zeolit
sintesa ZSM-5, serta Cu/ZnO/Al2O3. Begitu juga dalam jurnal Raktim Sen,dkk
(2020) yang menggunakan katalis sintesa
Ru-PNP dimana CO2 diudara ditangkap menggunakan larutan etilen glikol, lalu
melalui proses sintesa dan metanol yang dihasilkan kemudian dipisahkan dengan
distilasi. Ditemukan juga pada sebuah
jurnal review oleh Sankha, dkk (2020)
mengungkapkan bahwa telah dilakukan pengembangan fotokatalis gabungan
TiO2/CuSO4 berbasis graphene untuk konversi CO2 menjadi metanol dengan hasil
sebesar 33-37 mg/ g katalis yang sebelumnya hanya mencapai 10-20 mg saja. Serta
masih banyak lagi penelitian lain yang sedang dan akan dilakukan mengingat
selain sebagai bahan industri kimia seperti pada industri kloro metana,
formaldehida, dan amina asetat, metanol juga memiliki potensi sebagai bahan
bakar kendaraan bermotor (Methanol to Gasoline).
Tau gak sobat ilmiah? Bahkan sebagian
kalangan industri saat ini memprediksikan bahwa metanol akan menjadi bahan
bakar kendaraan dimasa depan karena dibandingkan dengan bensin, metanol
mempunyai bilangan oktan yang lebih tinggi, pembakarannya menghasilkan emisi CO
dan NO yang rendah, serta bebas belerang dan timbal. Sehingga dengan potensinya
yang besar perlu untuk dilakukan pengembangan yang lebih serius lagi, khususnya
oleh para peneliti di Indonesia.
Nah, gimana nih peneliti muda
tirtayasa.. apakah tertarik untuk meneliti dalam bidang ini atau penasaran info
terupdate terkait perkembangan keteknikan diluar sana? Stay tune di artikel
Himre selanjutnya ya..
#HimatemiaBeraksi
#HimatemiaGo
DAFTAR PUSTAKA
Raktim, Sen. 2020. Hydroxide
Based Integrated CO2 Capture From Air and Conversion to Methanol. Journal
Of The American Chemical Society, Februari 2020. Download : http://dx.doi.org/10.1021/jacs.9b12711.
Sankha, C. 2020. Photocatalytic
Conversion Of CO2 to Methanol Using membrane-integrated Green Approach : A
Review On Capture, Conversion and Purification. Journal Of Environmental
Chemical Engineering 8 (2020) 103935. Download : http://www.elsevier.com/locate/jece.
Yana, S dan Husni, H. 2008. Hidrogenasi
CO2 Menjadi Metanol Dengan Menggunakan Katalis Zeolit Alam, Zeolit Sintesa
ZSM-5 dan Katalis Sintesa Cu/ZnO/Al2O3. Jurnal Purifikasi, Vol.9, No.1 Juli
2008 : 28-29.
http://www.esdm.go.id
http://www.menlhk.go.id